Author: Aslan Yakuza
Dua malam berturut jendala kamarku diketuk. Aku tak berani bangkit dan memastikan apa atau siapa yang mengetuk, kecuali, berpura-pura batuk.
Menurut dongeng Datuk--orang yang lalu mempertahankan rumah ini--beliau kerap mengalami hal-hal ajaib. "Kalau ada yg lain, seharusnya ambil yang itu saja!" Kalimatnya sederhana, tetapi bagiku mempunyai arti, usai mencicipi sendiri ketaknormalan pada rumah yg gres kudiami beberapa pekan ini.
Bahkan di malam pertama, saya dibentuk terkejut oleh beberapa gelas di dapur yang pecah tanpa alasannya adalah.
Kala itu aku mengendap-endap untuk menyaksikan siapa pelaku yang membuat gaduh dapurku. Tapi, tidak seorangpun kutemukan di situ. Bahkan, kelebat tikus pun tak kulihat di sana. Lalu, siapa yang melakukannya?
Tentu saja tidak ada yang mampu menjawab.
Tentu saja tidak ada yang mampu menjawab.
Aku kembali ke kamar dengan perasaan penuh pertanyaan. Teringat kembali pesan yg Datuk, sampaikan, rasanya ada yg beliau sembunyikan.
Dan malam ini, saat kuterjaga akibat kebisingan di lantai bawah, perasaanku tak enak. Sebab, bulu roma ini berdiri dikala kudengar suara anak wanita menangis sebelum histeris. Suaranya mirip seseorang yg tengah merasakan siksaan. Entah mungkin melakukan dijambak rambut, atau malah dipukul dengan keji. Pastinya, bunyi itu terdengar pilu sekali.
Kulihat jam pada ponsel yang masa itu memerlihatkan pukul, 02.03. Sudah dini hari, pikirku, siapa yg berani melakukan hal ini bila untuk bermain dengan cara menakut-nakuti.
Tentu saja itu mustahil. Kaprikornus, apa mungkin itu penunggu rumah yg baru kubeli dan kutinggali sekarang ini?
Bermacam pertanyaan bersarang, pikiranku jadi tidak karuan. Dengan secuil keberanian aku mencoba memutuskan, apa yg tersembunyi di rumah baruku ini.
Langkahku tertatih sambil melirik kanan-kiri, sesekali kutatap ventilasi, kali saja ada yang mengintip seperti dalam film-film horor, di tivi. Tak ada sama sekali, situasi malah mendadak damai. Aku pun bergeming, dan malah makin merinding, era merasa ada seseorang yg lewat sangat cepat di belakang. Tapi sayang, ketika kubalik badan, tidak kutemukan satu pun orang, bahkan bayangan.
Tiba-tiba kudengar langkah kaki, dulu hilang dan situasi sepi kembali. Aku semakin ngeri. Sebenarnya apa yg tersembunyi di rumah ini? Batinku bertanya lagi.
Dan lagi, kebisingan kudengar, jalas sekali, suaranya sempurna di bawah lantai kawasan kuberdiri. "Tangis anak wanita tadi?!" gumamku, menyampaikan sendiri dengan ekspresi panik.
Memang, rumahku ini memiliki ruang bawah tanah daerah penyimpanan barang. Sekalipun saya belum pernah ke sana apalagi menyelidiki benda apa saja yang ada di sana.
Munafik kalau aku tak takut mulai kajadian itu. Namun aku berusaha memberanikan diri untuk mengenali hal apa yg bantu-membantu terjadi.
Kupaksa membuka pintu menuju ruang bawah tanah yang dihias sarang keuntungan-keuntungan. Drit engsel pintu itu memperbesar rasa takut di benakku. Aku menawan napas dalam sebelum membuangnya dengan sekali embusan. Amat gelap, tidak ada penerangan sama sekali, kecuali beberapa anak tangga yg masih mampu kulihat alasannya terkena cahaya lampu penerangan di dalam rumah.
Kuhidupkan flas, dari ponselku. Lalu saya mulai turun di anak tangga itu. Setiap langkahku jadi berirama, irama langkah yg menginjak papan kopong, bagai suara kajon yang dipukul sekali-kali.
Merinding? Sudah pasti, ketika dihidangkan barang-barang yang sudah berdebu dan banyaknya sarang laba-keuntungan di sana yg berulang kali kena wajah ini.
Whusss!
Sepintas kurasakan angin berembus di sana, menggoyang beberapa barang yg tergantung dan sarang keuntungan-keuntungan.
Sepintas kurasakan angin berembus di sana, menggoyang beberapa barang yg tergantung dan sarang keuntungan-keuntungan.
Aku mengelus dada. Berusaha tidak masuk dalam panik hebat. Namun itu tidak berlangsung usang, saat sesosok bocah wanita dengan sorot mata merah menyala muncul di hadapan.
"Ya Tuhan ...!" lirihku, terduduk jatuh, alasannya adalah terkejut mulai hal itu.
Sosok itu mendekati saya, dia tidak berjalan, mirip terbang, bahkan aku tidak bisa melihat kedua kakinya, tertutup gaun putih lusuh.
Bocah itu menatap aku, dengan sorot penuh dendam dan amarah. Wajahnya sungguh akrab, mungkin hanya dua centi saja. Aku kian gemetar akhirnya. Pikirku, malam itu yakni simpulan dari hidup.
Namun dugaanku salah! Sosok itu hilang entah ke mana. Tapi, yg jadi problem, pintu bagi ke luar dari sana mirip ditutup seseorang.
Aku panik, kemudian bangkit dan lari naik ke anak tangga kemudian berupaya membuka pintunya. Sial! Pintunya terkunci. Dan tiba-tiba paras anak perempuan tadi muncul lagi, tepat di depan mata, menembus pintu di hadapku.
Karena terkejut aku malah jatuh, bergelinding di tangga sebelum nyungkur di bawah.
"Awh!" kurasakan sakit luar biasa. Kepala dan bibiku berdarah.
"Senenarnya siapa kau ini?! Kenapa kau mengangguku?" teriakkan keputus asaanku bergema di ruang bawah tanah.
Mendadak sosok anak kecil itu tertawa. Garing, untuk aku kian merinding.
Entah darimana dan bagaimana sosok itu melakukannya, datang-datang saja dua tengkorak manusia dengan memakai busana tidur wanita berserak di depan mata.
Astaga ...! Apa mungkin mereka juga korban yang tewas di gudang ini? Batinku menyikapi.
Dugaanku tidak salah! Usai saya menyimpulkan sendiri, dua barang di sana melayang ke arahku. Aku mengelak sebisanya, namun benda-benda yg melayang ke arahku terlalu banyak dan cepat, hingga paha kiri ini tertancap besi bekas gagang payung.
Aku histeris. Tawa sosok anak kecil itu kian nyaring. Tapi aku belum mau mati, terlebih oleh sosok anak kecil penghuni gudang penyimpanan.
Aku berupaya bangkit meskipun rasa sakit menjalar tubuh. Kulihat darah mengucur di kaki. Walau terseok-seok, setidaknya saya masih berupaya menemukan jalan ke luar dari sana.
Tak berapa usang, kulihat cahaya dari sela papan yang dipaku selaku dinding ruangan itu. Aku mencari satu yg pastinya besar lengan berkuasa, supaya dapat menjebol dinding itu, dan membawaku pergi dari ruangan tersebut.
Sial memang, tidak kutemukan benda berkhasiat kecuali, watu seukuran mangkok mi. Dengan menggunakan itu saya berusaha menjebol dinding. Lumayan usang, sosok itu manatapku saja sambil tertawa tanpa menghujaniku dengan benda mirip sebelumnya.
Aku merasa seperti diberi peluang menyelamatkan diri. Namun apa yang aku perbuat tidak mulai berhasil. Sudah berusaha sekuat tenaga, dinding itu tetap tak berganti, kokoh bagai baja.
Aku akan putus asa, melemparkan batu terhadap sosok wanita kecil itu. Tawanya semakin membahana, saat watu yg kulempar menembus tubuhnya.
Aku duduk bersandar di dinding gudang, sambil menangis seseguk, memasrahkan hidup pada arwah gentayangan rasanya tak pernah masuk aliran. Tapi itulah kenyataan, tak lama lagi nyawaku akan diambil Tuhan, melalui arwah gentayangan.
Sosok itu terbang, makin lama kian erat. Tak ada yg bisa kuperbuat, selain melihat sorot mata sarat dendam dan amarah. Tapi kali ini bibirnya berganti, senyumnya merekah, seakan merayakan kemenangan alasannya dalam waktu dekat saya akan jadi korban ke sekian, pikirku berserah akan ajal yang telah di dapan mata.
Namun datang-tiba, bunyi mesin sinsu membelah dinding tak jauh dari kawasan kubersandar membuat saya sadar, bahwa Tuhan, tak akan menjemput hambaNya, yang takwa dengan cara sedemikian rupa. Pahlawan pun datang di waktu yang tepat.
Nir terlalu lama, dinding pun terbelah, memeberi celah untukku ke luar dari sana.
"Cepat pergi dari sini!" bunyi itu sudah tidak abnormal lagi. Sahih sekali! Datuk, penjaga rumah itu yang datang buat menyelamatkan aku.
Datuk mempesona tanganku, mengajakku lari sejauh mungkin dari rumah itu. Sesekali kutengok ke belakang dengan sarat rasa takut, takut bila sosok itu mengejar atau menghujan barang-barang yg dapat melukai tubuh.
Tapi tidak! Sosok itu cuma menatap kita yang lari semakin jauh dari rumah itu. Ia hanya berdiri tepat di dinding yang sudah dilubangi Datuk.
***
Aku tak ingat betul bagaima dapat saya berada di rumah sakit. Luka di pahaku sudah diperban, dan kulihat di sebelahku Datuk, yang telah menolongku tersenyum ramah.
Melihatnya, aku segera ingin bertanya wacana sosok dan apa yang dulu terjadi di rumah itu. "Datuk ... bantu-membantu apa yang--"
Belum sudah saya bicara, Datuk eksklusif memangkas dengan menyampaikan. "Kau sudah melihatnya. Bersyukurlah kamu masih bernyawa. Tak ada yg perlu ditanyakan, karena takkan ada penjelasan. Berimanlah! Teruslah percaya bahwa Tuhan, itu ada!"
Aku tidak dapat lagi bicara, kecuali memejam mata. Namun dikala kembali menoleh ke kawasan di mana tadi Datuk, duduk, beliau telah tidak di sana.
Sampai aku memutuskan pindah, gudang penyimpanan masih menjadi misteri hingga ketika ini.
Sekian.
Posting Komentar