Halloween Costume ideas 2015

Disini tempat bagi kamu yang bernyali besar karena konten-kontenya full dengan cerita misteri super horro

Dendam


Author: Aslan Yakuza
Kami terjebak dalam bangunan yg begitu luas. Bangunan yg tadinya mirip bangunan Hotel biasa sekarang berganti jadi tempat yg sarat lorong gelap, lembab, dan kotor.
Kami tak cuma berusaha mencari jalan ke luar dari sana, namun juga berupaya meloloskan diri dari kejaran sosok perempuan menakutkan.
Sosok berambut panjang yang tergerai itu, tidak begitu terperinci parasnya. Keseluruhan wajahnya sarat bekas luka, seperti luka bakar. Bahkan bekas luka yg bernanah itu, juga ada di kedua tangannya.
Meski sosok itu tidak bangkit, berjalan, terlebih melayang, kalian tetep kualahan menjauh dari sosok yang merangkak cukup cepat.
Entah salah apa, hingga kami mengalami nasib seperti ini. Sambil terus lari, pendengaran ini tak henti-henti mendengar gumam Tifani. Di antara kita berempat, hanya ia yg panik hebat. Bahkan, sempat berulang kali beliau tersungkur dahulu berteriak seperti orang yang mau dibunuh detik itu juga.
Walau kecemasan akan keselamatannya sendiri, Rayon tetap membantu Tifani berdiri. Bahkan berkali-kali. Meski disaat itu Tifani tetap saja menganggapnya mengambil keutungan, dan Tifani sempat menepis tangan Rayon, saat membantu Tifani, Rayon tetep tidak peduli mulai perilaku Tifani.
Tak usang sehabis itu, kami di hadapkan empat lorong gelap. Tidak ada waktu buat berpikir, tanpa segan kami masuk ke lorong di hadapan kami. Selain gelap, lorong sempit itu sangat pengap. Masing-masing dari kita mengeluarkan ponsel sebagai penerang. Sesekali saya menengok belakang, sambil mengarahkan cahaya dari ponsel, takut jikalau sosok itu sudah erat dengan kita. Tapi yang kulihat hanya dinding lorong yang kotor dan lantai yang berlumut.
Untuk sementara kalian lega bisa lolos dari sosok itu. Namun yg jadi problem gres, kita tidak tahu bagaimana ke luar dari tempat itu.
Usai berjalan cukup jauh, kami pun datang di sebuah ruang yg tak terlampau besar. Ruangan itu penuh dengan barang yang ditutup kain putih lebar, sehingga kalian tak tahu benda apa saja di sana.
Aku menyudut dulu bersandar di dekat pintu. Sementara Teo dan Rayon, berupaya menciptakan Tifani tenang.
Mataku tak jenuh menyapu ruangan itu. Ada satu yg menawan perhatian. Kudekati benda yang melebihi tinggiku itu. Perlahan aku menawan kain putih berperisai abu. Aku sempat batuk, sebelum ternganga melihat banyaknya buku terpajang di sana.
Yup! Itu memang rak buku, tapi bukan buku kumpulan motivasi atau kisah fiksi. Yang terpajang di sana yakni, buku perihal alam goib dan kitab-kitab yang tak kumengerti.
Aku mengerenyit, dikala mendapatkan banyaknya buku yang tak kupahami. Buku yg ditulis pada kulit hewan yg sudah kering itu memakai goresan pena kuno. Aku tak tahu, apa itu goresan pena Jawa, kuno, atau mungkin saja peninggalan suku-suku zaman dahulu.
Kami mulai mengira-nerka, jangan-jangan daerah itu pernah didiami seseorang yang mempelajari ilmu goib.
Namun, kalian tak sempat menggali isu lebih dalam lagi, karena sosok rambut panjang dengan wajah bekas terbakar, telah berada tak jauh dari kita. Pelahan tetapi pasti, beliau merangkak mendekati. Setiap rangkaknya, mengeluarkan suara seperti anjing mengerang, karena tak ingin jatah makannya direbut spesiesnya.
Kami salah menentukan daerah. Pintu dan lorong yang membawa kami ke ruangan tersebut berada di belakang sosok itu. Kami terjebak. Kepanikan tak terelakkan.
Tifani dengan nekat lari menuju pintu yg terperinci-terperinci melalui sosok itu lalu. Aku yg berada di dekatnya sampai tidak sempat membatasi. Mobilitas Tifani cepat sekali.
"Tifani!" Aku tersentak menyaksikan bagaimana cepatnya sosok itu mencengkram kaki Tifani, kemudian menyentaknya sampai Tifani terterukup.
Teriakan Tifani kian jadi, membuat Rayon tanpa pikir lagi mendekat dan berusaha membantu Tifani. Dengan berani Rayon memegang tangan dan jemari sosok itu yg hitam legam. Berusaha sekuat tenaga melepas cengkraman itu dari kaki orang yang ia sayang. Kulihat sosok itu memiringkan kepala dan menatap Rayon penuh amarah. Seketika, sosok itu menerbab Rayon, kolam kucing yang menyergap tikus buruannya.
Kaos putih yang dikenakkan Rayon memerah. Rayon terluka?
Ya! Kesepuluh kuku runcing sosok itu kini bersarang di dada Rayon. Aku yang menyadari itu, berusaha melaksanakan sesuatu. Tapi aku tak tahu, harus berbuat apa untuk menolongnya, selain mengatakan. "Teo ... kumohon, bantu dia ...," pintaku lirih.
Tapi, Teo ternyata pria pengecut yang tidak acuh dengan rekan sendiri. Iya lari dengan meninggalkan kata-kata. "Aku belum mau mati!" tanpa peduli Rayon yang dalam ancaman dan melalui Tifani yg masih terguling begitu saja.
Cepat-cepat kudekati Tifani, dan berusaha menciptakan beliau tak putusasa dengan dua kalimat singkat. Syukurnya dia mendengarku, dan beliau lebih dulu berupaya menolong Rayon yg tak berdaya diduduki sosok penunggu tempat itu.
Namun, usaha Tifani malah membuat beliau yang diserang. Tifani terlentang tak dapat bergerak, diduduki sosok paras bernanah-bengkak itu. Ia histeris, dikala sosok itu mencekiknya.
Kejadian di depan mataku itu malah membuat aku terpaku. Aku merasa tidak bisa menggerakkan badan. Aku mirip patung. Sial! Berulang kali aku memaki dalam hati. Aku sadar temanku memerlukan pertolongan. Tapi saya tidak mampu berikan pinjaman.
Kulihat mata Tifani akan melotot-lotot, suaranya juga sudah tersedak-sedak. Ia mulai mati?
Nir! Lagi-lagi Rayon menjadi hero untuknya. Dengan mengatakan. "Jika kau ingin membunuh, bunuh saja saya!"
Kata-kata itu menciptakan sosok tersebut menengok ke belakangnya, di mana Rayon yang terguling dengan dada berlumuran darah. Tak lama, sosok itu melepas cekikannya pada leher Tifani, kemudian kembali merangkak ke kawasan di mana Rayon terbaring.
"Shilma! Kumohon ... bawa Tifani pergi dari sini!" teriakan itu balasannya membuat aku sadar. Aku bisa bergerak. Tanpa menjawab apa-apa aku membatu Tifani, meletakkan satu tangannya di bahuku sambil menuntunnya pergi dari sana.
Kudengar suara Rayon terakhir kalinya yg masih sempat-sempatnya memberi semangat. "Aku percaya kami bisa melakukannya! Kalian niscaya selamat. Aaaakkkk ...!!"
Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi kepadanya. Setelah cukup usang keluar-masuk lorong di sana, aku dan Tifani melihat pohon-pohon besar karena hari sudah mulai fajar.
Kami hasilnya dapat ke luar dari tempat menakutkan itu. Meski kami orang kedua yg sukses ke luar dari sana. Deduksi itu diambil dari tak adanya lagi kendaraan beroda empat Teo yg terparkir.
Dengan sisa-sisa tenaga, kami berjalan menuju suatu desa, berharap menerima tunjangan dari orangnya. Namun, belum hingga perdesaan kita telah bertemu puluhan warga berkumpul. Ketika menyadari kedatangan kita mereka eksklusif saling membatu menggendong kami yang akan mereka bawa ke Puskesmas.
Disaat perjalanan menuju Puskesmas, aku sempat bertanya. "Pak! Tadi di sana ada apa?"
"Mobil masuk jurang, lalu terbakar."
Aku meneguk ludah. Batinku mengira, itu niscaya beliau.
***
Kuceritakan seluruh insiden kepada bidan yang merawatku dan warga yang juga berada di sana. Mereka sangat kagetmendengarnya, dan situasi di sana berubah, tenang beberapa ketika.
Salah seorangpun berkata. Kukira wanita itu telah mati. Ternyata tak!"
Semua yang berada di sana terhenyak. Wajah-muka mereka berganti, seperti merasakan takut hebat.
"Sebenarnya, sosok itu siapa?"
Hining sejenak. Warga yg berada di sana saling menatap, sampai alhasil seseorang menjawab. "Dulu beliau diketahui selaku dukun santet yang hebat. Tapi, karena arogansi dan kekejamannya, warga dibantu dua orang bakir, menyerbu daerah tinggalnya kemudian membakarnya," terang salah seorang warga, kemudian mengambil napas sejenak, "tapi, wanita itu tak mati. Ia merangkak di dalam kobaran api, dulu keluar menyerang dua orang," lanjutnya. "Sejak saat itulah, tempat itu terlarang buat kami. Sempat ada orang yang ingin tau dan menjajal buktikan sendiri, tapi ia tak pernah kembali. Dukun santet itu akan terus membunuh buat melampiaskan dendamnya." Tutupnya menjelaskan.
Aku sempat tercengang, sebelum mengajukan pertanyaan lagi. "Apa yg mengusik kami, arwah dukun santet itu?"
"Entahlah ... hingga ketika ini kalian belum tahu pasti, apa dukun itu telah sungguh-sungguh mati."
"Artinya, sosok itu belum mati?!"
"Aku rasa begitu!"
Aku melongo sambil mengingat, sosok itu mencekik Tifani, dan dikala Rayon sempat memegang tangan sosok itu. Cukup masuk logika, pikirku.
"Bagaimana nasib temanku?"
"Dia tak mulai pernah kembali."
Aku menunduk murung.
Setelah percakapan itu, beberapa warga memutuskan mengirim kalian.
***
Setiba di terminal, di kota kalian tinggal, warga yg mengirim berkata hanya bisa mengirim sampai situ saja. Kami banyak berterima kasih kepada mereka. Karena hari sudah mulai malam, kami bergegas mencari angkutan yg jurusan tempat tinggal kita. Namun, langkah kami terhenti tepat di gerbang terminal, saat seseorang dengan bunyi serak menyapa kalian.
Serempak, kami menoleh ke belakang dan melihat sosok yg mengejar-ngejar kami semalaman.
Sosok itu berkata. "Kenal dengan mereka?!" beliau menghunus kedua tangan yang memegang penggalan kepala yg tak abnormal lagi buat kami.
Mataku terbelalak menyaksikan belahan kepala Rayon dan Teo. Spontan, kutarik tangan Tifani yg dingin bagai es, buat langsung lari dari sana. Beruntung, sebuah transportasi melintas. Cepat-cepat kita naik dan berharap hingga di rumah.
Akan namun, dikala minibus itu telah melaju. Sang sopir yg wajahnya sungguh kukenali berkata. "Kita mulai kembali!"
Aku terhenyak. Sosok wanita itu ternyata sudah berada di depan, bersebelah dengan sang sopir yang parasnya persis Teo.
Tifani pingsan. Pelan-pelan kesadaranku hilang.
Sekian.
Label:

Posting Komentar

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget