Author: Nem & Aslan Yakuza
Cahaya purnama menari bergantian dari jendela tanpa tirai, menambah penerangan lampu neon yang berkedap-kedip memberi kemilau temaram. Suara angin melalui ventilasi terbuka, seperti bisikan-bisikan menuju maut; bergema tiada henti, menyerukan penjemputan ajal untuk mereka yg terlalu usang bertahan di sana. Pintu ajal seolah terbuka lebar, mengundang segala orang yang bernyawa memasukinya dengan cara paling tidak menyenangkan yg pernah dibayangkan insan.
Rumah itu sudah usang kosong. Semerbak aroma abu berbaur dengan wangi yg menguar di ruang yg pernah menjadi kamar tidur—bagi entah siapa. Seorang laki-laki muda terbaring di atas genangan darahnya. Isi perutnya keluar. Kedua tangannya yg memegang usus, mirip masih memperjuangkan biar organ-organnya tetap berada dalam tempatnya. Matanya membeliak, seolah tidak merelakan dikala ruhnya dipaksa keluar dari jasad yg selama ini dipinjam dari Sang Kuasa.
Di dalam ruang yang sempat bising oleh jerit kesakitan dan teriakan mempertahankan kehidupan, seorang gadis kecil terlelap. Langkah tertatih mendekatinya seraya bergumam, “Ternyata tak susah menemukanmu.” Lelaki berdarah itu berjongkok, mengusap paras gadis di hadapannya, menyisakan bercak merah di pipi kiri.
Gadis itu menjerit sejadi-kesudahannya dikala terbangun. Mungkin saja dia melewati hari paling jelek sepanjang hidupnya. Ia mendapati dirinya berada di daerah yang tak semestinya. . “Noura, tenanglah!” gadis yg kini didekapnya terisak. Bocah perempuan berambut panjang dalam pelukannya berupaya membisu. Aroma sampo masih samar tercium, pertanda beliau belum usang berada di daerah ini. Isak tangisnya berhenti, namun air mata masih tetap mengalir melewati pipinya yg tembam. "Bocah malang ... untung saja aku datang," ia memandang wajah bocah sambil tersenyum. Sesekali lirih suaranya menahan perih dari luka yg dirasa, dikala menatap paras gadis yg tengah menjalani kurun kanak-kanaknya.
Noura mengerjapkan mata berkali-kali, menjajal mengamati ruangan dan orang yang tengah mendekapnya. Di sisi yang yang lain tempatnya duduk, laki-laki yg yang lain tergeletak tidak bergerak di atas merah di lantai keramik yg penuh debu. Ia merasa mengenali laki-laki yang tengah mendekapnya, memberi kehangatan dan ketenangan. “Om—”
“Bukan, aku hanya gembel pasar,” potong lelaki itu memahami apa yg mau diucap Noura selanjutnya. Ia membantu memapah Noura bangkit. Mereka bergerak mendekati lelaki yang tergeletak tidak bernyawa.
“Om ... berdarah!”
“Hanya tergores tampaknya,” jawabnya sambil menekan luka mengaga di perut yang masih mengucurkan darah. “Perhatikan baik-baik, kau mengenalnya?” Noura menggeleng sebagai jawaban. “Baiklah, sekarang kamu telah kondusif. Aku rasa dia telah benar-benar mati. Kita mesti langsung turun, hati-hati banyak perangkap di sini.”
Mereka meninggalkan ruangan dan mayit laki-laki di atas lantai dengan mata melotot penuh ketakutan. Ketika menuruni tangga, terdengar ancaman menggema dari pengeras bunyi di bangunan berlantai empat. Noura semakin dekat menggenggam tangan laki-laki yg tengah menyelamatkannya.
“Abaikan suara itu. Aku percaya cuma suatu bahaya dari rekaman. Aku sudah mendengarnya puluhan kali semanjak berada di sini.” Noura menurut, ia mencoba tidak mempedulikan suara ancaman, yg bersumpah mulai mengambil nyawanya secara paksa alasannya adalah mereka terpilih buat berada di dalamnya.
Begitu keluar ruangan, Noura nyaris menjerit. Mulutnya hanya menganga, langkah kakinya mundur seolah ingin memasuki kembali kamar yang gres ditinggalkan. Lelaki itu menahan tangannya. Di langit-langit menuju tangga, ia menyaksikan dua pria yg lehernya terjerat tambang terikat pada lampu besi di atas sana. Lidah mereka terjulur ke luar, mata melotot, serta darah yang masih segar basahi paras keduanya, dari besi yg tertancap di kepala tanpa pelindung. Lelaki itu menutup mata Noura, tak membiarkan bagaimana ekspersi sarat dendam dan kesakitan yang tergambar dari paras mereka. “Mereka telah mati juga, kurasa. Tak ada yg perlu ditakuti dari akhir hayat.”
“Om, kenapa orang-orang itu mati? Kenapa aku ada di sini, apa aku mulai mati seperti mereka, atau kalian seluruh akan mati di sini?”
“Setiap kejadian senantiasa ada karena sebalum menjadi akibat. Kadang kami mengerti, kadang kali kami cuma tidak menyadari. Kamu tidak mesti memahami sekarang. Aku berjanji, kalau harus ada yang mati, saya tak mulai membiarkan kamu mati di sini,” jawab laki-laki sembari memaksakan senyum saat menatap Noura dalam-dalam.
Noura mendekap lelaki itu makin erat, mengumpulkan dukungan dan rasa aman dari orang yang ragu-ragu dikenalnya. “Om, antar saya pulang. Aku mau pulang.” Lelaki itu mengangguk dan tersenyum, menolong Noura menuruni tangga meski langkahnya sendiri tertatih perih.
“Nouraaa ...!”
Noura hampir tidak percaya siapa yang berada di lantai dasar dan memanggilnya. Pria baya yg senantiasa ada untuknya. Kesyukurannya meluap. Noura bergegas menuruni satu baris tangga terakhir dari tempatnya berpijak, buat beralih mendekap erat perlindungan ke dalam pelukan laki-laki baya di bawahnya.
“Noura ... awas!!!” Lelaki itu melompat menggapai Noura. Terdengar terperinci suara sesuatu menembus daging di punggung lelaki itu beberapa kali, selanjutnya mereka bisa mendengar bunyi tulang terkoyak dan sebuah leguhan panjang dari lelaki baya yang masih mengangkat tangannya untuk menyambut Noura.
“Tidaaakkk ...!” Noura menjerit memegangi kepalanya menyaksikan beberapa tubuh tergeletak di lantai tidak bergerak. Lalu langkah kakinya begitu terpanggil untuk mendekatkan diri ke pria baya yang disayangnya. Semua kata-kata cuma tenggelam dalam isak tangis. Bayang-bayang kebersamaan dengan laki-laki yg tergeletak di lantai dengan kepala tertusuk panah, juga sesuatu panah yg yang lain menembus dadanya.
“Di-dia ..., ia telah mati, Noura!”
Noura berpaling, menatap tidak percaya lelaki dengan tiga panah menembus punggungnya kembali bangkit dan memaksakan diri tersenyum untuknya. “Om—”
Noura berpaling, menatap tidak percaya lelaki dengan tiga panah menembus punggungnya kembali bangkit dan memaksakan diri tersenyum untuknya. “Om—”
“Jangan sebut namaku, Noura. Aku hanya mesti mengantarkanmu ke pintu depan dan menunggu kedatangan polisi. Aku sudah mengundang mereka buat menyelamatkanmu. Aku rasa konferensi kita tak akan usang,” ungkap laki-laki itu sembari mengajak Noura menjauhi orang tersayangnya. “Kau harus berkembang sampaumur, menjadi peri, ataui bidadari, bersinar dan terangi dunia, meskipun bukan untukku, buat orang-orang yg mencintaimu,” tambahnya begitu sampai di paras pintu yang terkunci.
"Om, bahwasanya aku di mana?" Dengan mata berkaca-kaca bocah perempuan itu mengajukan pertanyaan sambil memegangi tangannya yg terluka akhir jatuh tadi.
"Kemarilah,” perintahnya untuk mendekat, “buat sementara, kamu cukup aman di sini Noura." Lelaki itu menyobek rok sekolah yg digunakan bocah sd itu, kemudian membebat lukanya. “Lurasa itu cukup menahan lukanya.”
Ada hening yg cukup usang di antara mereka, sehabis rasa aman, entah mengapa Noura mencicipi keanehan dari lelaki itu. Ia bertahap menjauhinya sampai bersandar pada pintu yg terkunci. Ia sendiri gundah dengan apa yg dirasakannya.
"Om, saya mau pulang. Aku cuma mau pulang!" suara bocah itu terdengar mirip lolongan permintaan untuk lepas dari jerat sesuatu yg mengerikan—yang mulai menimpa dirinya jika lebih lama bersama laki-laki itu.
Ia memandang dalam mata Noura. Napasnya menjadi berat, wajah itu menenteng kilas balik yg menyayat hatinya, menjinjing luka terdalamnya bakit dari kubur. Sebuah kepastian yang tak pernah menjadi pasti. Seperti mengarungi samudera dengan sampan yang cuma terikat komitmen-komitmen ringkih di heningnya malam. “Nir lama lagi kamu mulai pulang, Noura. Aku sudah berjanji. Tapi sebelum itu, lebih baik kalian sudahi drama ini.” Lelaki itu bangun. Seolah seluruh rasa sakitnya lenyap begitu saja.
Gadis kecil itu mendekap dirinya sendiri, rasa hangat berkembang menjadi acuh taacuh yg merengkuh bersahabat badan mungilnya, sampai ke tulang-tulang yang masih berkembang dan mendewasa.
“Seperti yang sudah kubilang, Noura,” ucapnya terhenti. Denting besi berbunyi tiga kali dari tiap panah yg dilepas dari punggungnya. Ia mendekati Noura, tersenyum—lebih ibarat seringai. Ia memamerkan sebiah video dari ponselnya, menciptakan tubuh Noura menghangat karena video yang belum patut dilihatnya.
“Aku rasa kamu mengenalnya, laki-laki itu ... beliau yang menawarkan luka ini,”—menunjuk perutnya yang terbuka dan berdarah—“beliau yang kau lihat di atas tadi.”
“Om—”
Lelaki itu mengusap pipi Noura yang bergetar panik. “Perhatikan yg lainnya!” sesudah mengulang video berdurasi enam menit selama tiga kali, Noura tidak dapat mengucap kata-kata. Ia paham siapa yang dimaksud pria itu. “Aku telah bilang, segala terus ada alasannya yg bekerjasama menjadi akibat.” Lelaki itu menangkap kebingungan Noura yg tak memahami. “Ya, saya yang membunuh mereka. Hmm sebaiknya beliau,”—menunjuk pria baya yang terkapar tidak bernyawa—“tak masuk hitungan.”
“Om, kenapa?”
“Om, kenapa?”
Lelaki itu terlihat murka. Noura paham kepada siapa bekerjsama dia marah. Lalu dengan tangannya, ia meremas ponsel yg tadi ditunjukkan menjadi keping-keping, tak bisa disatukan kembali. “Lihatlah, seperti itulah aku, Noura. Aku telah lama hancur, dia penyebabnya, juga mereka yg kamu lihat telah menjadi bangkai. Tubuh ini kutukan, Noura.” Ada air mata yang menetes dalam ucapan terakhirnya. Lelaki itu mundur beberapa langkah, dengan tangannya ia mengoyak dadanya sendiri. Suara tulang rusuk yg patah di sebelah kiri terdengar terang menggema di rumah kosong itu. Ia membuka dadanya, tidak ada jantung di sana, hanya ada suatu mawar merekah yang sudah menghitam, dan mengeluarkan wangi amat anyir membuat Noura muntah seketika itu.
“Om telah—”
“Mati?” potong lelaki itu. “Sudah kukatakan, tidak ada yg perlu ditakuti dari maut, Noura. Setelah mati orang akan hening—atau tak—di alam yang lain. Ad interim saya terjebak di raga ini, di antara ajal yang setiap detik kurasakan, luka yang selalu menghidupiku, dan kutukan yg menjadikan aku bertahan di—alam—sini.”
Noura menangis sejadi-kesannya. Tubuhnya berguncang panik yg tidak pernah dinikmati sebelumnya. Lelaki itu mendekat, membelai tampang lugunya, ia sadar mengoyak periode kanak-kanak bocah ini, tetapi satu harus disampaikan. “Sampaikan salamku kepadanya.” Noura mengangguk. “Aku mulai memperhatikan kalian, hingga kutukan ini menguasaiku sepenuhnya, kalian mungkin mulai menghadapiku dalam situasi yang lebih dari ini. Berhati-hatilah, Noura. Aku tidak bisa menahan kutukan ini terlalu lama.” Seiring sirine polisi mengaung memecah sunyi, laki-laki itu kehilangan bentuknya; kulitnya mengelupas terbakar, menunjukkan otot-otot pembentuk raga yang disantap oleh belatung, hingga rangkanya kemudian hancur, kemudian organnya lebur di atas lantai, saat pintu terbuka, segala bab yg tersisa dari lelaki itu lesap tertiup angin.
Di dalam mobil ambulan, di tengah kawalan polisi, Noura menciptakan pesan bagi orang yang dimaksud. ‘Semua sudah mati, berikutnya kita. Aku takut ....”
-kelar-
Posting Komentar