Author: Aslan Yakuza
Seorang laki-laki yang tubuhnya berlumur darah memohon-mohon supaya dirinya dibebaskan dari tali yg mengikat tubuhnya di sebuah kayu seukuran tiang listrik, yg menancap kokoh di tanah lantang nan gersang.
Dilihat dari sosoknya, laki-laki itu terang bukan penduduk orisinil daerah itu. Kulit putih dan rambut pirangnyalah yang membedakan, tidak seperti orang-orang yang mengelilinginya. Mereka berkulit hitam, juga berpenampilan semeraut. Mereka juga bernyanyi sambil menari-nari memutari laki-laki yg saat itu menangis tersendu.
Beberapa dari mereka mengambil tumpukan kayu bakar yang letaknya tak jauh dari situ. Lalu, melempari laki-laki tersebut dengan kayu bakar yang mereka ambil tadi. Salah satu dari mereka bersuara, saat itu juga itu pula aktifitas mereka berhenti.
Entah apa yg diucapkan pria yang parasnya penuh tatto juga tindikkan pada pendengaran dan hidungnya, yg pasti tampaknya ia akan memperabukan laki-laki itu hidup-hidup.
Dan benar! Tanpa kompromi pria bertatto menjatuhkan obor yang baru saja diserahkan salah sesuatu pengikutnya. Degan cepat api menjalar memperabukan kayu-kayu kering beserta sang pria.
Suara kesakitan bercampur cemas mulai ajal terdengar amat memilukan. Memecah keheningan malam suram tanpa satupun Bintang terlebih Bulan. Erangan demi erangan dilontarkan laki-laki yg setengah dari tubuhnya mulai dijalari api. Tetapi, suaranya seolah sirna tertimpa nyanyian dan irama gendang yg dimainkan orang-orang suku pedalaman itu.
Pria yg dibakar hidup-hidup itu tak lagi bersuara, tubuhnyapun telah keras, menghitam bagai arang. Lalu mereka menyingkirkan dua kayu yang masih dilalap api, juga membersihkan bara di sekitaran sang laki-laki yg sudah tewas mengenaskan itu.
"Apa yang mulai mereka lakukan?" Bisik temanku.
"Entahlah ... kalian lihat saja," balasku, tidak kalah pelan dari suaranya.
Beberapa saat dahulu mereka menusuk perut pria yang dibakar hidup-hidup itu memakai alat semacam pisau namun sepertinya benda itu yang dibuat dari tulang, lalu merobeknya dari bab pusar hingga dada, hingga mengeluarkan air yg agak kental dan gumpalan-gumpalan berwarna merah tua.
"Menjijikkan!"
"Sebaiknya kamu membisu Sam! Nanti kalian dapat tertangkap basah," tegasku.
Dugaanku tidaklah salah, usai merobek perut sang pria dan mengeluarkan jeroannya, mereka berebut merobek daging laki-laki malang yang belum sepenuhnya matang dengan gigi mereka. Terlihat, rembasan air ke luar dikala kulit yg legam itu dikoyakkan. Sungguh ngeri dan menjijikkan, membuat Sam, muntah-muntah.
"Celaka!"
Akibat bunyi Sam, muntah, keberadaan kalian yg bersembunyi di balik tumpukan jerami dimengerti orang-orang itu. Sadar akan ancaman yg mengancam, saya berusaha menyeret Sam, yang masih belum telah mengeluarkan isi dalam perutnya.
Terdengar suara gendang juga ajakan-usul yg tidak kupahami makin pecah bersautan. Sesekali saya menoleh ke belakang, dan melihat belasan orang yang hanya menutupi bagian intim mereka saja itu melompat-lompat seperti monyet sambil terus mengejar-ngejar saya dan Sam.
Aku terus berusaha agar Sam, tetap bersamaku. Perlahan-lahan Sam juga akan membaik dan mampu berlari sendiri tanpa mesti kupapah lagi. Akan tapi, sial untuk Sam, yg langkahnya terpaksa berhenti karena jebakan yang menjerat kakinya. Jebakan yang sepertinya dibuat oleh suku pedalam aneh itu menjerat kaki Sam, serta melukai bagian paha Sam, dengan tulang-tulang runcing. Sam menjerit, tidak dapat bergerak lagi. Aku berupaya membebaskan Sam dari jebakan itu, saat orang-orang suku semakin mendekati kami.
"Pergilah! Kau mesti tetap hidup buat menceritakan insiden ini!"
"Nir Sam! Kita akan pulang bareng ," jawabku yang mulai putus asa menyaksikan orang-orang itu semakin bersahabat saja.
"Pergilah Rul ... kau harus tetap hidup. Percuma, usahamu itu! Jebakan ini tetap akan membunuhku," kata Sam, sambil tersenyum.
"Nir Sam! Aku niscaya melepaskan jebaka ini darimu."
"Khoirul ... sudahlah ... percuma saja. Meski aku bebas, benda ini akan tetap membunuhku," ujar Sam, kemudian berbaring dan memberikan satu yang menancap di dadanya.
"Ya, Tuhan ...," sungguh aku tidak percaya menyaksikan benda itu menancap di dada Sam. Darah segar Sam mulai merembas dari cela benda seukuran tombak itu.
Ad interim, jarak kami dan orang suku sudah benar-benar akrab.
"Pergilah ... Rul!" ucap Sam, sebelum mengembuskan napas terakhir.
Dengan sungguh terpaksa saya meninggalkan jasad Sam yang masih terjerat. Aku tidak tahu tindakanku itu benar tidaknya, yg niscaya dikala itu saya berusaha lari secepat mungkin berharap tetap hidup bagi menenteng cerita ini seperti yg Sam, kehendaki.
Setelah berlari amat jauh, saya akhirnya dapat ke luar dari hutan; sekaligus lolos dari kejaran orang suku yang tinggal di hutan itu. Dengan napas memburu, saya membaringkan tubuh pada bangku bambu yang berada di pelataran kediaman salah sesuatu penduduk di sana.
Akan tetapi, datang-tiba seorang kakek tua menghampiriku. Ia pribadi berpesan, "Jangan pernah ceritakan peristiwa ini, apalagi sampai kembali ke hutan itu!"
Aku menolehnya. Dengan napas yang masih tidak teratur aku bertanya. "Hhhh, hah, hah, kenapa?"
"Atau kau mulai mati!" terperinci si kakek, dulu membuka bajunya dan memerlihatkan formasi tatto yang persis seperti tatto suku kanibal di hutan itu.
Aku terpaku. Kakek itu kemudian meninggalkan saya.
***
Ancaman sang kakek benar-benar membuatku takut. Sampai ketika ini tak seorangpun pernah kuberitahu soal suku kanibal itu juga kematian Sam. Aku cuma memberikan kesaksian imitasi pada pihak berwajib terkait hilangnya Sam. Aku menyampaikan, Sam diterkam Singa saat kalian hendak kembali usai menjelajah hutan demi mempelajari acara Hewan.
Namun, usiaku semakin bau tanah, dan aku tidak pernah tahu kapan ... ragaku ini mulai kaku bila datang waktunya penjemputan jiwaku ini. Karena itulah aku menuliskan cerita kematian Sam, yg sebenarnya, dan cerita ini kuberi judul ... "Cannibals and death of Sam".
Sekian.
Posting Komentar