Author: Aslan Yakuza
Peristiwa 13 tahun kemudian masih begitu terperinci di ingatanku. Di mana pada saat itu kedua orangtuaku berupaya menghentikan keganasan kaum vampir yg menyerang desa daerah kalian tinggal.
Malam di mana purnama yg indah berubah tragedi. Poly menelan korban jiwa. Mayat dan genangan darah di mana-mana, bergeletakan kolam benda tak berkhasiat.
Aku yg masih cukup umur tak bisa berbuat apa-apa, cuma bisa menyaksikan dua vampir itu menyerang lalu membunuh orangtuaku dikala mereka lengah. Keduanya tergelempang dengan dada tertancap anak panah; anak panah punya mereka sendiri yg meleset ketika mereka hendak memanah vampir-vampir itu.
Aku terpaku. Tubuhku serasa ngilu menyaksikkan badan kedua orangtuaku kejang di atas darah mereka yg mulai menggenang.
Sedangkan para vampir mulai pergi membawa dua orang, mungkin untuk mereka jadikan tawanan atau suguhan.
Setelah keadaan cukup aman, aku lari dengan air mata basahi pipi tuk hampiri jasad kedua orangtuaku itu. Isak tangis mewarnai desa kami. Bukan aku saja, tetapi banyak sampaumur, bahkan anak kecil kehilangan orangtua mereka. Sejak saat itu, kami jadi yatim piyatu. Kami dibesarkan di salah sesuatu pantiasuhan yg dibentuk salah seorang warga berhati mulia.
Itu kejadian 13 tahun kemudian, yang tak pernah bisa dilupakan warga desa, khususnya untuk kami, ya ... kami yang dibesarkan di panti asuhan.
***
"Udah makan?" Gadis cantik dengan lesung pipi menghampiriku yang tengah sendiri di teras panti. Ia membawa sepiring nasi lengkap dengan lauknya.
"Ah! Naysilla," ujarku setengah terkejut mulai kehadirannya.
"Boleh ikut duduk?"
"Tentu!"
Naysilla duduk di sebelahku, dan mengulang pertanyaan tadi. "Udah makan?"
"Sudah."
"Beneran?"
"Ya. Kamu makan aja! Nanti keburu cuek nasinya," kataku. Menyuruhnya makan.
Sambil menyuap nasi, Naysilla bertanya lagi. "Kamu ngapain di sini?"
Aku menolehnya sesaat, sebelum mengubuh persepsi ke langit. "Aku tengah melihat keindahan malam," ujarku, tanpa melihatnya.
"Hmmm," Naysilla berdehem, sambil menoleh manja ke arah angkasa. "Bintang-bintangnya terperinci!" imbuhnya.
"Ya!" jawabku singkan. Terangnya seperti hatiku ketika kamu bersamaku Naysilla, batinku melanjutkan.
"Kenapa menatapku?" tanya Naysilla dalam kondisi sendok masih berada di mulutnya.
"Ah! Ti-tak! Hanya saja ... aku selalu merasa hening kalau kau bersamaku."
"Huuu ... gombal!" kilahnya, kemudian berdiri meninggalkanku.
"Nay ...! Mau ke mana?"
"Masuk!"
"Ngapain?"
"Nyuci piring! Mau bantuin?"
"Eh, kalau soal itu ... kamu dan yang lainnya aja yang kerjakan. Hehe."
"Huuu! Dasar," saut Naysilla sebelum benar-benar masuk ke dalam panti.
Aku tersenyum sendiri. Sebelum mendengar kebisingan dari arah belakang panti, disusul bunyi teriakan histeris para gadis. Ak berdiri dan lari secepat mungkin ke arah di mana kegaduhan terjadi; nampak ruangan di sana kolam Bahtera pecah, dengan dinding yg bolong cukup besar menyisihkan bagian papan yang kafe saja dirusak.
Memdadak dadaku sesak, mendengar salah seorang berkata kalau Naysilla diculik oleh vampir.
Apa bergotong-royong tujuan mereka? Kenapa mereka menculik Naysilla? Bukannya dulu mereka datang dulu membantai nyaris seluruh warga? Kenapa sekarang berganti? Mau diapakan Naysilla?
Pertanyaan-pertannyaan itu menyerang otakku. Tapi, aku tidak butuh jawaban apapun. Yang saya perlukan hanyalah Naysilla dalam kondisi baik-baik saja.
Pertanyaan-pertannyaan itu menyerang otakku. Tapi, aku tidak butuh jawaban apapun. Yang saya perlukan hanyalah Naysilla dalam kondisi baik-baik saja.
Dengan emosi membara, aku melanggar peraturan desa yg melarang siapa pun masuk ke hutan terlarang. Apalagi sampai pergi ke arah bukit iblis, di mana berdirinya Kastil kaum vampir. Aku tak peduli, meskipun harus mati, asalkan Naysilla kembali dan aku bisa membunuh vampir yg menculik Naysilla dan yg lalu membunuh orangtuaku. Berbekal pedang punya Almarhum ayah, dan busur panah Almarhum ibu, aku melangkah dengan yakin bahwa saya dapat membalaskan dendam mereka serta menjemput Naysilla.
Akan tetepi, kepergianku tidaklah sendiri. Puluhan warga bersenjatakan tombak, pedang, panah dll, turut serta dalam evakuasi Naysilla. Misi penyelamatanpun dimulai dari hutan terlarang.
Di sana kalian sudah dihadang puluhan vampir dengan tampang-tampang menyeramkan. Taring mereka panjang dan kuku hitam panjang vampir itu menciptakan nyali kami sedikit ciut. Namun, cita-cita kita mulai bebasnya bahaya dari kaum vampir telah mengalahkan panik di benak masing-masing. Dengan upaya menyerang para vampir kita akibatnya sukses hingga di depan Kastil kaum vampir, meskipun hanya menyisakan sebagian dari anggota sebelumnya.
Kami terpaksa meninggalkan jasad-jasad mereka yg gugur di hutan terlarang karena adu pukul dengan para vampir. Tetapi, kami berjanji mulai menjinjing mayit mereka dan memakamkannya dengan layak kalau nanti kalian berhasil dan kembali.
Di depan gerbang Kastil, nampak dua vampir yg mempertahankan memandang kami penuh amarah. Mereka mendesah bak seekor serigala lapar. Kemudian mereka meyerang dengan segera, melukai, bahkan menewaskan beberapa orang di dekatku.
Darah berceceran di sana, banyak warga desa terluka, sesuatu per satu warga kehilangan nyawa balasan kekurangan darah. Para vampir itu sepertinya benar-benar murka. Namun saya masih dapat bertahan dengan merobohkan dua dari mereka.
Aku menerobos ke dalam Kastil, sementara yang yang lain sengaja melawan para vampir buat memberiku ruang.
Melihat pengorbanan orang-orang, dadaku makin membara, tak akan kusia-siakan apa yang telah mereka lakukan. Semua itu juga mereka kerjakan dengan impian; ketenteraman untuk anak cucu mereka nantinya.
Tibalah saya di sebuah ruangan, ruangan di mana Naysilla berbaring dengan kaki dan tangan yang terikat. Sepertinya mereka tengah melaksanakan ritual.
"Hentikan!" teriakku lantang.
Sang pemimpin ritual itu menghentikan niatnya yang mulai menusukkan pisau dengan mata yang bercabang itu ke tubuh Naysilla. Semua mata tertuju ke arahku. Aku membeku.
"Siapa kamu?!" Sang pemimpin ritual itu mengajukan pertanyaan kepadaku.
"Aku datang buat menyelamatkan gadis itu!"
Semua vampir tertawa.
"Kenapa?! Apanya yang lucu?"
"Kuakui nyalimu cucu Adam! Tapi, kau tidak bisa menghentikan ritual kami yg cuma terjadi seribu tahun sekali ini!" hardik pemimpin vampir yang memegang pisau itu, dan dia juga pemimpin kaum vampir.
"Jika begitu, maka maafkan aku!" ujarku, kemudian melepas anak panah yang sendari tadi sudah aku arahkan kepada pemimpin kaum vampir, sekaligus vampir yang dulu membunuh orangtuaku.
"Hahaha!" bukannya merasa sakit, vampir itu malah tertawa lantang. "Kamu tidak akan dapat membunuhku dengan panah ini," ungkapnya besar hati.
"Kata siapa?!"
Tiba-tiba, muncul kobaran api dari anak panah yg menancap sempurna di dadanya. Api itu dengan segera membengkak dan melahap badan sang vampir. Melihat keadaan itu, segala vampir yg berada di sana pun cemas, mencari cara untuk memadamkan api. Tetapi, mereka yang mendekat malah ikut terlahap api kemudian mati.
"Apa yang terjadi?!" cemas salah satu vampir.
"Siapa kau ini?!" bentak vampir yang tampakpaling renta di sana.
"Aku hanyalah manusia biasa. Tetapi, aku sudah mempelajari semua kelemahan kaum kalian. Jadi, seandainya kita berusaha melawan, maka akan berakhir mirip pemimpin kita," terangku dengan lantang.
Semua vampir termenung, menatapku dalam-dalam.
"Apa yg kau inginkan?"
"Kebebasan!"
"Kebebasan?"
"Ya! Aku minta kaum kita tak lagi menyerang bangsa insan dan kami juga mesti melepaskan gadis yg terbaring di sana!"
"Tidak dapat! Ini telah menjadi ritual ribuhan tahun kaum kalian."
"Kalau begitu, kita memelih mati seperti pemimpin kita ini!" ujarku kemudian kembali melepas anak panah yang kuarahkan terhadap vampir renta itu. Namun, salah satu vampir tiba-tiba meloncat entah darimana menerbab anak panah yg saya lepaskan, hingga membuat tubuhnya terbakar.
"Kuakui kau dapat membunuh pemimpin kaum vampir. Tapi, kamu tidak akan dapat membunuh seluruh vampir yg berada di kastil ini," imbuhnya. Lalu ratusan vampir timbul di mana-mana.
Aku terpaku melihat hal itu. Apa yg dibicarakan tetua vampir itu ada benarnya juga. Anak panah yg telah kurajah tak akan cukup membunuh mereka segala.
"Kenapa diam saja, anak muda ...?"
Aku tetep tak bisa berkata apa-apa. Kehawatiranpun terlintas.
"Karena kau sudah membunuh pemimpin kaum vampir. Maka kau harus bertanggungjawab!"
Aku terbelalak. Apakah mereka akan membunuhku dan Naysilla?
"Jiwamu sungguh berani, dan kamu memiliki jiwa pemimpin. Jadi, saya putuskan untuk melakukan perjanjian!"
Perjanjian? Batinku yang semakin khawatir.
"Jika kamu mengharapkan gadis ini tetap hidup, maka selaku gantinya ... darahmulah yang hendak menjadi persembahan para penghuni Neraka!" jelasnya membuatku khawatir.
Tapi, aku sedikit lega mendengar bahwa Naysilla mulai baik-baik saja jikalau mulai menggantikannya.
"Aku bersedia! Tapi, bagaimana dengan warga desa? Apa kami juga mulai menepati keinganan terakhirku, untuk tak menyerang mereka lagi?"
"Hahahah!" dia malah tertawa. "Kau tak akan mati anak muda! Setelah darahmu dijadikan persembahan, maka kau akan dibangkitkan bagi menjadi pemimpin kaum kalian," jelasnya, betul-betul menciptakan aku terkejut.
Tetapi, saya tak milik pilihan lagi. Meski aku mesti menjadi vampir dan tidak mampu bersama-sama Naysilla lagi, setidaknya aku mampu menjadikannya hidup wajar , tanpa mesti menjadi vampir yang hendak mereka sandingkan dengan pemimpin kaum vampir yang telah kubunuh itu. Aku juga merasa lega alasannya kaum vampir tidak mulai lagi menyerang warga desa.
Aku dulu berbaring dengan mata tertutup di suatu kerikil dengan pahatan kepala kelelawar. Aku juga mendengar kalimat-kalimat gila, sebelum kurasakan nyeri sempurna di jantungku ini. Perlahan-lahan kesadaranku hilang. Semakin usang aku kian tak mampu mendengar dan mencicipi apa-apa. Inikah maut?
Akan namun, tiba-datang aku berada di atas singgah sana kaum vampir. Kurasakan perbedaan di tubuhku. Aku merasa sangat hambar, dan setiap benda yang aku pegang, tidak bisa saya rasakan.
"Selamat tiba Tuan ...!" ucap para vampir bersama-sama, sambil memberi hormat kepadaku.
Aku masih terpaku. Tak tahu apa yang mesti dijalankan dikala itu. Tapi, hal yang pertama melintas diingatan iyalah Naysilla.
"Naysilla! Di mana ia?"
"Dia telah senang bareng keluarganya Tuanku Berta!" terang tetua vampir, sambil memberikan kehidupan Naysilla yg senang dengan suami dan anaknya.
"Bagaimana itu terjadi?"
"Sekarang sudah sepuluh tahun sejak ritual itu, Tuanku. Warga desa dan gadis itu, menganggapmu telah tiada. Mereka menganggapmu selaku pahlawan yang telah berkorban untuk mereka," jelas tetua.
Aku tidak menjawab apa-apa. Jujur saja, aku masih tak yakin bahwa saya sungguh-sungguh dibangkitkan dan jadi pemimpin kaum vampir. Ditambah, Naysilla mengganggapku tiada dan beliau telah menikah?
Hufs ...! Tak apalah, yang utama dia tetap bahagia dan warga desa tak mulai pernah lagi dihantui rasa takut mulai serangan dari kaum vampir. Meski sesungguhnya aku tidak bisa menerima realita ini, alasannya kaum vampir telah membunuh orangtuaku.
Hufs ...! Tak apalah, yang utama dia tetap bahagia dan warga desa tak mulai pernah lagi dihantui rasa takut mulai serangan dari kaum vampir. Meski sesungguhnya aku tidak bisa menerima realita ini, alasannya kaum vampir telah membunuh orangtuaku.
Selesai.
Posting Komentar