Author: Aslan Yakuza
Aku tak pernah merasa hening ketika gelap akan tiba. Kecemasan dan cemas akan menjalar hingga buatku gemetar. Keadaan sekitar kerap membuat jantungku berdebar-debar, bagai mendengar petir yang menggelegar.
Aku sadar pernah lakukan kesalahan besar. Inikah akibat atas perbuatanku yg tidak masuk akal? Setiap malam saya seolah dihajar dengan teror-teror yg hingga membuatku tak sadar. Tiap tengah malam, sosok bayi-bayi mungil dengan tampang menakutkan senantiasa berkelayapan, tidak jarang mereka mengejar-ngejar , tanpa memberi ruang untukku mengelak .
Sosok-sosok bayi yang berkelayapan di rumahku itu berlawanan-beda. Ada sosok yang tubuhnya masih utuh, ada pula wajah yg menyeramkan, banyak robekan. Lalu, ada juga sosok di mana kedua bola matanya tergontel-gontel hampir ke luar dari rongga mata si bayi. Ada yg tanpa tangan, ada yg tanpa kaki. Tapi, yang menyamakan mereka hanyalah; darah segar menyelimuti semua badan sosok bayi-bayi itu.
Aku tak tahu mesti bagaimana lagi. Hidupku dibuat ngeri. Apa seharusnya saya mati?
Percuma! Nir ada yg mampu beri jawab atas pertanyaanku tadi. Di sini, aku tinggal sendiri, di rumah yg cukup besar ini.
Percuma! Nir ada yg mampu beri jawab atas pertanyaanku tadi. Di sini, aku tinggal sendiri, di rumah yg cukup besar ini.
Pernah kuceritakan insiden yg kerap menimpaku terhadap saudara dan tetangga bersahabat. Mereka malah bilang, aku berhalusinasi dikarenakan aktifitasku yg terlalu padat. Mendengar argumen mereka, otakku jadi ngadat, terlebih hingga berdebat, kenapa tidak ada satupun orang yg seperndapat?
Dan malam ini, di balik pintu yang kututup rapat, saya mendengar tangisan bayi yg enggan berhenti. Kendati sudah kubekap kedua indera pendengaran, tapi tangisan bayi itu masih membahana.
Aku tak tahan lagi hidup mirip ini. Selalu dihantui. Tapi, aku belum bersiap bagi mati. Ke mana saya harus lari? Berulang kali aku pindah, tetap saja sosok bayi-bayi itu meneror di malam hampa.
Tiba-datang kurasakan ada sentuhan di ujung kaki. Sentuhan lembut tetapi lengket menjalari kakiku, selalu naik ke tubuh hingga berhenti di wajahku. Setelah itu, kudengar tawa bayi tepat di pendengaran. Pelan-pelan kuberanikan membuka mata, bagi melihat sosok bayi mirip apa yang berada di samping paras .
"Kyaaa ...!" Aku menjerit kemudian bangkit dan bergerak sigap membuka pintu agar ke luar dari kamar. Sosok bayi berlumur darah dengan paras berlubang-lubang itu kegirangan sembari bertepuk tangan di atas ranjang melihatku ketakutan.
Aku pribadi ke luar kamar--menguncinya lagi dengan harapan sosok bayi itu tak bisa ke luar. Sayangnya, di luar malah lebih menyeramkan. Terdapat banyak sosok bayi merangkak ke sana ke mari. Mereka bermain sambil tertawa geli. Tapi, kehadiranku tampaknya mengganggu permainan mereka. Sosok bayi-bayi itu menghentikan aktifitas mereka. Semua menatapku. Aku terpaku, sebelum kembali sadar ketika mereka mulai merangkak ke arahku.
Aku cemas! Dengan tangan gemetaran saya memasukkan kunci pada lubang di pintu kamar. Sialnya, pintu itu tidak mampu dibuka, seakan kunci yang kupunya itu salah. Ad interim mereka, sosok-sosok bayi kian dekat, bahkan ada yg menarik-narik ujung piyamaku.
Aku menjauh dari pintu, lari ke ruang tengah. Di sana masih tersisa beberapa barang pajangan yang kugunakan buat melempari sosok-sosok bayi. Akan namun, tetap saja itu tidaklah memiliki kegunaan, barang-barang yang kulemparkan menembus mereka kemudian pecah, sama halnya mirip malam-malam sebelumnya.
Aku mundur dari sosok bayi menakutkan yg berkerumun mendekatiku. Mereka tertawa menyaksikan wajahku yg pucat dan penuh peluh.
"Berhenti! Jangan ganggu aku," pintaku haru. Namun mereka seolah hirau, malah kian banyak dan merangkak cepak ke arahku.
Merasa keadaan kian parah, saya lari meninggalkan rumah, sambil berteriak meminta pinjaman terhadap siapa saja yang mungkin mendengar teriakanku di malam buta itu. Namun sayang, tak satupun orang datang memberi bantuan. Aku lari tunggang-langgang mengenali sosok bayi-bayi itu selalu mengejarku hingga ke luar rumah.
Dengan napas mengejar-ngejar , kesudahannya saya sampai di salah satu kantor kepolisian. Tanpa mencampakkan kesempatan, aku melaporkan seluruh. Tetapi, mereka--polisi yg aku temui malah tertawa.
"Sumpah Pak! Aku tak mengarang cerita," ujarku, setengah murka.
"Dek ...! Kamu tak mengingau, kan?"
"Nggak Pak! Aku senantiasa diburu-buru sosok bayi-bayi itu Pak!" jawabku dengan nada yang keras, mengetahui sosok bayi-bayi itu memenuhi ruang di kantor polisi itu.
Aku bersikap kolam orang gila, menjerit-jerit tidak karuan sambil mengakui kalau aku salah.
"Hentikan! Kumohon hentikan! Hiks, hiks," teriakku sambil menangis, "aku memang pernah membunuh kalian ... kita yg harusnya dilahirkan, bukan digugurkan. Aku minta maaf. Aku menyesal pernah melaksanakan itu. Kumohon ... menjauh dariku! Jangan ganggu saya, hiks, hiks, hiks!"
Akan tapi, sosok bayi-bayi itu tetap saja mendekati aku yg duduk tersandar pada dinding di ruang kantor kepolisian itu. Sedangkan beberapa polisi menatapku resah, seolah mereka tidak melihat apa-apa, cuma menyaksikan sikapku yang asing.
Mataku tak tahan lagi menyaksikan darah pada bayi-bayi yg merangkak sambil tertawa itu. Mereka mencongkel bola matanya sendiri, lalu melemparkannya ke arahku, dahulu tertawa. Aku semakin tidak tahan, kesadaranpun perlahan hilang. Aku pingsan.
***
Aku meringkuk di ruangan yg diterali besi. Seorang wanita berbalut pakaian serba putih tiba membawakanku sepiring nasi.
"Aku perihatin melihatmu mirip ini. Semoga saja kamu betah tinggal di sini, dokter aborsi," ungkapnya, dahulu pergi begitu saja.
Aku tidak menjawab apa-apa, namun mataku melihat piring yg berisi nasi itu perlahan berganti janin manusia.
"Tidaaakkk ...!!" teriakku menggila. Menyadari, bayi-bayi hantu itu tetap menerorku meski aku telah mengakui kesalahan, dan kini mendekam di Rumah Sakit Jiwa.
Selesai.
Posting Komentar