Halloween Costume ideas 2015

Disini tempat bagi kamu yang bernyali besar karena konten-kontenya full dengan cerita misteri super horro

The Reconciliation

Kiriman member : Ervan Syah

CSH - Min Numpang Share cerita dari jepang ya, ini ialah suatu cerita menakutkan dari Jepang yg ditulis oleh Lafcadio Hearn – penulis legenda-legenda Jepang, yg menceritakan seorang laki-laki yg meninggalkan istrinya demi perempuan yg lebih muda namun secepatnya setelah itu dia meratapi keputusannya. Cerita ini juga kadang disebut dengan judul Rambut Hitam yang Panjang.

Seorang samurai muda dari Kyoto telah jatuh dalam kemiskinan alasannya adalah nasib yang dialami oleh majikannya, dia kini juga diharuskan bagi meninggalkan rumahnya demi membayar utang-utangnya serta diwajibkan melaksanakan dinas pemerintahan di provinsi yang jauh.

Sebelum meninggalkan kota, samurai ini menceraikan istrinya – seorang wanita yang bagus dan baik hati, sebab yakin dia mulai lebih mudah bagi mendapatkan penawaran khusus jabatan dengan perempuan yang lain. Dia dulu menikahi seorang perempuan dari kalangan terpandang, dan membawanya serta ke kawasan di mana ia diperintahkan. Namun dari waktu ke waktu dan alasannya adalah era mudanya telah berlalu, keahliannya pun akan memudar, samurai ini masih tak bisa memahami mengapa semua yang mungkin bisa didapatkannya hilang begitu saja.

Pernikahannya yang kedua malah tidak membahagiakan dirinya; aksara istri barunya sangat keras kepala dan egois. Samurai ini dahulu menyalahkan keputusannya dan menyesali mulai hari-harinya ketika masih tinggal di Kyoto. Mengingat itu, beliau kemudian menyadari bahwa dirinya masih mengasihi istri pertamanya – sungguh mencintainya lebih dari istrinya yg kedua. Kini beliau merasa betapa berdosa dan tak bersyukur dirinya atas apa yg telah ia dapatkan lalu. Perlahan-lahan penyesalan yang mendalam itu membuat dirinya tidak menemukan lagi kedamaian dalam hidupnya. Perangai lembut, keelokan, dan senyuman manis serta keteguhan yang tiada batas dari wanita yang telah ditinggalkannya selalu menghantuinya seharian.

Kadang-sering di dalam mimpi dia melihatnya di ruang tenun istrinya yang dulu, bekerja siang dan malam buat membantu menopang hidup mereka di kurun-periode yg merepotkan. Dilain waktu dia menyaksikan istrinya duduk di kamar tidurnya yg kecil tepat seperti dikala beliau meninggalkannya – meniadakan airmatanya dengan pakaiannya yg telah lusuh. Bahkan di jam-jam kerjanya, samurai ini merasa sungguh merindukan istrinya kembali – membayangkan bagaimana seandainya beliau kembali padanya; lantas akan bertanya-tanya bagaimana kehidupannya kini, apa yang dilakukannya sekarang …

Sesuatu di dalam hatinya percaya bahwa istrinya tak akan pernah menikahi suami lain, begitu pula dia tak akan pernah menolak buat memaafkan dirinya. Dan tanpa memberitahu istrinya yang gres dia menetapkan akan menemui istri lamanya secepatnya kalau dia sempat kembali ke Kyoto, memohon maaf, membawanya kembali, dan melaksanakan apapun yg dapat seorang pria lakukan demi mendapatkan pengampunan.

Tahun-tahun pun berlalu.

Dan di ketika periode baktinya kepada pemerintah telah selsai, samurai ini hasilnya bebas. “Sekarang aku akan kembali kepada cinta pertamaku.” berjanji terhadap dirinya sendiri. “Ah. Betapa jahat, betapa bodohnya diriku telah menceraikannya!” Dia mengirim istri keduanya kembali terhadap keluarganya – tanpa seorang anak dari akad nikah mereka, dan bergegas menuju Kyoto. Samurai itu melaksanakan sekali perjalanan bagi menemui kepingan hatinya yg lalu, tanpa banyak menghabiskan waktu bahkan untuk mengubah busana.

Ketika ia datang di jalan mereka pernah tinggal, dikala itu telah lewat tengah malam – malam ke sepuluh di bulan ke sembilan – dan suasana kota sudah sangat sunyi mirip kuburan. Tapi karena bulan bersinar sangat jelas malam itu membuat segalanya dapat tampakdengan jelas, dia memperoleh rumahnya tanpa kesulitan. Rumah itu kelihatan sungguh jelek, rumput-rumput sudah berkembang tinggi dan tumbuhan-flora telah merambat sampai atapnya.

Dia mengetuk pintu gesernya, tak ada tanggapan. Tak lama, ia memperoleh bahwa pintu itu telah tak melekat baik pada jalurnya, dia mendorongnya hingga terbuka dan masuk ke dalam. Ruang depan sudah tidak beralas dan kosong, sehembus angin acuh taacuh bertiup dari celah-celah di dindingnya dan cahaya bulan menyoroti sampai ke dalam ruangan kecil itu melalui kisi-kisinya. Berjalan mendekati suatu pintu kertas yang tertutup, dia terkejut menyaksikan sebuah cahaya di baliknya. Dia mendorong pintu itu ke samping, dan kemudian menangis terharu – ketika beliau melihatnya di sana, menjahit ditemani suatu lampion kertas.

Mata wanita malang itu dahulu bertatapan dengan matanya, dan dengan sekulum senyum senang pribadi menyambut dirinya – hanya bertanya “Kapan kamu tiba di Kyoto? Bagaimana kau mendapatkan jalan ke padaku, lewat segala kawasan-tempat gelap itu?”

Waktu yang berlalu tidak mengganti dirinya. Masih dia terlihat persis dan sama cantiknya sesuai dengan ingatan yg melekat tentangnya, tapi apa yg dirasakannya jauh lebih bagus dari kenangan apapun dikala musik dari suara istrinya keluar, dengan getaran yang mengharukan menyambut dirinya. Dengan bahagia hati samurai itu mengambil kawasan tepat di sampingnya, dan menceritakan semuanya; betapa menyesalnya ia dengan keegoisannya, betapa buruknya dia tanpa dirinya, bagaimana ia menyesalinya terus-menerus, dan bagaimana beratnya dia mendapatkan impian buat menerima penebusan kesalahannya. Memeluknya sejenak, dan memohon pengampunan lagi dan lagi.

Istrinya kemudian menjawabnya – dengan kelembutan hatinya sudah membaca cita-cita samurai itu, dan memaksa dirinya bagi berhenti menyalahkan-diri. Itu salah, katanya, kalau beliau harus menderita karena perbuatannya. Dirinyalah yang merasa tak pantas menjadi seorang istri baginya. Dia tahu bahwa samurai itu meninggalkannya, dan tidak bertahan, cuma alasannya adalah miskin, tapi selama tinggal bersamanya, samurai itu sudah baik pada dirinya selalu, dan beliau tidak mulai pernah berhenti untuk mendoakan kebahagiaannya. Tapi bahkan bila harus memperoleh alasan buat suatu penebusan, alasan itu adalah kebahagiaan apa lagi yang mampu diharapkannya dibandingkan dengan menyaksikan dirinya kembali, walaupun itu hanya akan bertahan sebentar.

“Hanya sebentar?” balas samurai itu, dengan sebuah tawa yang melegakan … “Katakan, bahkan, kalau harus melewati tujuh kehidupan! Sayangku, kecuali kau melarangnya, saya akan datang kembali buat hidup bersamamu senantiasa, selalu, dan senantiasa! Nir ada yang dapat memisahkan kami lagi. Sekarang saya telah mempunyai duit dan sobat, kami tak perlu takut miskin. Esok barang-barangku akan dibawa kemari, dan pelayanku akan datang melayanimu, dan kami akan menciptakan rumah ini menjadi indah … Malam ini,” beliau menambahkannya dengan menyesal. “Aku tiba terlambat, bahkan tanpa mengganti pakaianku, hanya karena hasratku buat menemuimu, dan memberitahumu hal ini.”

Wanita itu terlihat sungguh senang dengan kata-katanya, dan sebagai balasannya ia memberitahukannya segala hal mengenai apa yg terjadi di Kyoto semenjak kepergiannya … Kecuali penderitaannya sendiri, dimana dengan ringan ia menolak bagi menceritakannya.

Mereka bercakap-cakap sepanjang malam… Lalu beliau mengantarnya ke suatu ruangan yg lebih hangat – menghadap selatan, sebuah ruangan di mana ialah kamar pengantin mereka dahulu. “Tidakkah kamu milik seseorang di rumah ini bagi membantumu?” tanya samurai itu, saat dia akan mempersiapkan sebuah kasur untuknya. “Nir,” jawab istrinya, tertawa renyah. “Aku tak bisa melakukan pekerjaan buat seorang pelayan, jadi aku tinggal sendirian saja.”

“Kau akan memiliki banyak pelayan esok hari,” kata samurai itu. “Pelayan yg bagus, dan apapun yg kamu inginkan!” Mereka lalu berbaring bersama untuk beristirahat – bukan untuk tidur, mereka memiliki banyak hal untuk bertukar dongeng. Mereka menyampaikan tentang era kemudian sampai sekarang dahulu kala depan, hingga langit berwarna kelabu mengambarkan subuh sudah datang. Lalu, dengan terpaksa, samurai itu menutup matanya, dan tertidur.

Ketika ia terbangun, cahaya matahari yg terik telah menyoroti dari celah-celah di dindingnya, dan memperoleh dirinya sendiri dengan sungguh terkejutnya, terbaring di kayu tanpa bantalan dengan lantai yg sarat jamur. Apakah ia hanya bermimpi sebuah mimpi? Nir, istrinya ada di sana, dia tidur … Samurai itu membungkuk mendekat kepadanya, mengintip dari rambut hitam panjang yg menutupi tampang istrinya, dan memekik! Tubuh terbaring itu tidak memiliki muka! Tepat di sampingnya, terbungkus dengan pakaian orang mati, terbujur suatu badan seorang wanita. Tubuh itu sudah membusuk hingga menyisihkan tulang belulang, dan rambut hitam yg panjang.

Perlahan-lahan, samurai itu bangkit nyeri dan mual di bawah sinar matahari, rasa takut yang cuek menyebar di benaknya tanpa terkendali, dan suatu rasa sakit menusuknya dengan kejam. Sebuah rasa ragu akan membayanginya, ia berlari ke tetangga, memberanikan diri bagi menanyakan rumah itu, rumah di mana istrinya pernah tinggal. “Tidak seorang pun tinggal di rumah itu,” kata orang yang ditanyainya. “Rumah itu punya seorang istri samurai yang meninggalkan kota beberapa tahun yg dulu. Dia menceraikannya demi menikahi seorang perempuan lain sebelum ia pergi, dan istrinya akan mengkhawatirkannya, dan menjadi sakit-sakitan. Dia tak memiliki saudara di Kyoto, dan tak seorang pun merawatnya. Dia kemudian meninggal pada animo gugur di tahun yg sama; pada hari ke sepuluh di bulan sembilan.”

Posting Komentar

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget