Fadli Hafidz
9 Oktober 2014
CSH - Sore itu, aku dan Heri mempersiapkan alat-alat memancing. Mulai dari joran, kail dan tak ketinggalan umpan bagi ikan serta perlengkapan untuk kami yakni rokok, air minum dan kuliner.
Biasanya kami memancing pagi hingga sore. Karena malam pekan tidak mempunyai acara, kami bermaksud malam mingguan dengan memancing saja.
Sebenarnya orang tuaku melarang kami berangkat sore itu. Kalau mau mancing nanti saja selepas maghrib begitu kata ayahku. Tapi, saya dan Heri tetap membandel dan tak menghiraukan kata-kata ayahku. Kami tetap berangkat sebelum adzan maghrib berkumandang.
Setibanya di lokasi memancing, di suatu danau yg tak terlalu jauh dari kawasan kalian tinggal, kami mempersiapkan alat-alat pancing yang tersimpan di dalam tas. Lokasi kawasan memancing adalah daerah favorit kami.
Selain bisa untuk menggelar tikar juga masih bisa untuk jalan para pemancing yang yang lain. Setelah simpulan menyiapkan perlengkapan mancing, tidak menanti usang saya dan Heri eksklusif melempar pancing. Sambil menanti kita ngobrol ngalor ngidul.
Tak terasa jam sudah memamerkan pukul delapan malam. Tapi, satu ekor pun kalian belum menerima ikan. Karena malam terasa dingin saya berniat mencari kayu buat api unggun.
"Ikan ga dapet, bisa mati kedinginan kami, Her," ucapku.
"Aku mau cari kayu dahulu ah," sambil nyelonong meninggalkan temanku yang melakukan tiduran di tikar, yang sengaja di bawa buat alas duduk.
"Aku mau cari kayu dahulu ah," sambil nyelonong meninggalkan temanku yang melakukan tiduran di tikar, yang sengaja di bawa buat alas duduk.
Aku berjalan menuju ke arah pepohonan karet yg memang banyak berkembang di sekitar danau. Satu persatu saya kumpulkan kayu-kayu kering yg banyak berserakan di situ. Setelah merasa cukup aku berdiri sejenak.
Saat sedang menatap sekeliling yang malam itu bulan nyaris purnama, tak sengaja melihat ke arah rimbunan bambu yang tak jauh dari tempatku berdiri, saya menyaksikan satu berwarna putih.
Awalnya ku kira seorang pemancing juga, jadi saya tidak bepikir yg ajaib-ajaib hingga ku hiraukan saja. Kayu yg kumpulkan eksklusif kubawa.
Belum ada sepuluh langkah aku berjalan, mirip ada kekuatan gila yg memaksaku untuk menengok ke belakang. Saat menengok dan membalikkan badan, aku terkejut hebat.
sekitar lima langkah dari tempatku, berdiri sesosok dengan gaun putih panjang dengan rambut menutupi sebagian mukanya. Bulu kudukku meremang. Rasa takut akan menjalari diriku. Kayu yg ku bawa terlepas dan jatuh. Aku makin di cekam rasa takut saat sosok putih itu tertawa cekikikan.
Ternyata sosok putih itu ialah kuntilanak. Ingin teriak suaraku mirip tertahan. Ingin berlari, kedua kaki sukar untuk digerakkan. Aku bingung mesti berbuat apa. Saat kuntilanak itu mengangkat tangannya terlihat kukunya yang panjang dan hitam.
Saking takutnya terbayang wajah ayah yg melarangku berangkat tadi, dalam hati aku menyesal dan memohon maaf pada ayah.
Aneh, sesudah itu kakiku dapat di gerakkan lagi. Langsung saja aku kabur dari daerah itu tanpa mempedulikan kayu yg saya bawa. Dengan terengah-engah saya datang di kawasan memancing. Heri masih saja tertidur pulas.
Dengan perasaan takut aku menengok ke belakang. Syukurlah kuntilanak itu tak mengikuti.
Tanpa membangunkan Heri, saya membenahi pancing yg masih tenang di danau dan belum mendapatkan seekor ikan pun. Belum final saya membereskan, dari arah belakang terdengar bunyi tawa cekikikan. Kemudian berganti bunyi tangisan wanita.
Kembali aku di cekam rasa takut. Tanpa menengok aku mengundang Heri supaya secepatnya bangun. Ad interim itu, bunyi tangisan berganti lagi menjadi bunyi tawa cekikikan.
Karena tidak juga berdiri saya beranikan diri berbalik badan buat membangunkan Heri. Begitu saya berbalik. Kuntilanak itu sudah berdiri di sebelah Heri tidur. Aku berteriak keras sekali. Namun suaraku mirip tercekat, tak keluar sedikitpun.
Hingga jadinya aku tidak ingat apa-apa lagi. Entah apa yang di perbuat kuntilanak itu. Aku terjaga saat Heri membangunkanku. Kulihat sinar matahari pagi akan tampak.
Aku berdiri dan memandang sekeliling sambil mengucek-ngucek mata. Ah, syukurlah tak terjadi apa-apa, batinku.
"Katanya mau cari kayu, eh malah tidur di rumput, dasar kau" ucap temanku. "Ayo kami pulang, hari telah jelas tuh," tambahnya lagi sambil menjinjing tiga ekor ikan gabus yg lumayan besar.Aku cuma tersenyum saja mendengar Heri menggurutu. Kulihat semua peralatan telah beres. Aku ingin sekali kisah pada temanku tapi ku urungkan.
Baca Juga Cerita Lainnya :
Baca Juga :
Posting Komentar