Kiriman member : Lina Ana
Pada suatu hari seorang gadis muda tengah menunggu di sebuah stasiun kereta di Amerika Serikat dan dia tidak jarang kerjakan sehabis pulang dari sekolah menengah atas buat pulang ke tempat tinggal. Ketika beliau melakukan menanti terdengarlah suara seseorang bergumam di belakangnya. Ia berbalik dan menyaksikan seorang wanita duduk di suatu dingklik. Gadis itu menyadari dikala itu cuma ada mereka berdua di stasiun tersebut. Wanita itu sangat ajaib, pikir gadis itu. Wanita itu berumur 40-an dan duduk dengan tidak tenang. Ia menggoyang-goyangkan badannya ke depan dan ke belakang sambil bergumam, “21. . .21. . .21 . . .”.
Gadis itu mampu melihat bila perempuan itu kelihatan agak “stress”, bahkan mungkin aneh. Ia berniat bagi mengacuhkan saja perempuan itu. Namun wanita itu selalu saja bergumam,
“. . .21. . .21. . .21. . .”
Lama-kelamaan gadis itu menjadi ingin tau. Ia pun berdiri dari kursinya dan menghampiri wanita itu.
“Ibu, apa yang sedang ibu hitung?”
Wanita itu tak menjawab, bahkan tak memandang gadis itu. Ia hanya terus bergumam,
“. . . .21 . . . .21. . .21 . . . .”
Gadis itu menyaksikan di sekitarnya, menjajal mencari tahu apa yang sedang perempuan itu hitung. Di ketika yang serupa, gadis itu heran. Jika beliau memang mengkalkulasikan satu, mengapa angkanya senantiasa sama. Kemudian terdengar bunyi kereta datang, tiba-datang saja wanita itu menerjang gadis muda dan mendorongnya ke arah rel.
“Aaaaaa!!!” teriak gadis itu, namun terlambat. Kereta yang melaju kencang itu terlanjur menyambar tubuhnya.
Warna merah dari darah gadis itu bercipratan sampai ke dinding dan dingklik-kursi di stasiun itu.
Wanita itu kembali duduk seolah tidak terjadi apa-apa dan mulai bergumam.
“. . . 22 . . . . 22 . . . 22 . . .”
***TAMAT***
Pada suatu hari seorang gadis muda tengah menunggu di sebuah stasiun kereta di Amerika Serikat dan dia tidak jarang kerjakan sehabis pulang dari sekolah menengah atas buat pulang ke tempat tinggal. Ketika beliau melakukan menanti terdengarlah suara seseorang bergumam di belakangnya. Ia berbalik dan menyaksikan seorang wanita duduk di suatu dingklik. Gadis itu menyadari dikala itu cuma ada mereka berdua di stasiun tersebut. Wanita itu sangat ajaib, pikir gadis itu. Wanita itu berumur 40-an dan duduk dengan tidak tenang. Ia menggoyang-goyangkan badannya ke depan dan ke belakang sambil bergumam, “21. . .21. . .21 . . .”.
Gadis itu mampu melihat bila perempuan itu kelihatan agak “stress”, bahkan mungkin aneh. Ia berniat bagi mengacuhkan saja perempuan itu. Namun wanita itu selalu saja bergumam,
“. . .21. . .21. . .21. . .”
Lama-kelamaan gadis itu menjadi ingin tau. Ia pun berdiri dari kursinya dan menghampiri wanita itu.
“Ibu, apa yang sedang ibu hitung?”
Wanita itu tak menjawab, bahkan tak memandang gadis itu. Ia hanya terus bergumam,
“. . . .21 . . . .21. . .21 . . . .”
Gadis itu menyaksikan di sekitarnya, menjajal mencari tahu apa yang sedang perempuan itu hitung. Di ketika yang serupa, gadis itu heran. Jika beliau memang mengkalkulasikan satu, mengapa angkanya senantiasa sama. Kemudian terdengar bunyi kereta datang, tiba-datang saja wanita itu menerjang gadis muda dan mendorongnya ke arah rel.
“Aaaaaa!!!” teriak gadis itu, namun terlambat. Kereta yang melaju kencang itu terlanjur menyambar tubuhnya.
Warna merah dari darah gadis itu bercipratan sampai ke dinding dan dingklik-kursi di stasiun itu.
Wanita itu kembali duduk seolah tidak terjadi apa-apa dan mulai bergumam.
“. . . 22 . . . . 22 . . . 22 . . .”
***TAMAT***
Posting Komentar