Kiriman Member : Ifunk Junior
sore mendung, hujan rintik rintik membasahi setiap pojok jalan sementara pria separuh baya tak surut tetap melangkah sambil menenteng karung lusuh kosong menyusuri jalan, dipinggiran terlihat pohon pohon rimbun mirip belum terjamah manusia, tidak terlihat orang yang melalui jalan itu mungkin alasannya sore telah menjelang malam.
era itu sekitar tahun 1975 banyak orang yg berperopesi selaku pencari rambut , namun salon-salon tempat cukur jarang dapat dijumpai, hal itu alasannya adalah biasanya orang-orang yang hidup di desa mulai memangkas rambutnya bergiliran dengan sanak kerabat atau tetangga bahkan bisa mencukurnya sendiri, dulu para pencari rambut akan tiba membelinya, entah dibentuk untuk materi baku wig atau apa?.
sekian lama ia berjalan belum kunjung mendapat perkampungan, pak maman tidak akan pulang sebelum karungnya terisi sarat oleh rambut, hari semakin gelap “wah saya harus cepat-cepat menemukan tempat beristirahat jangan hingga kemalaman di jalan,” bisiknya dalam hati
saat itu ia tak tau berada di daerah mana alasannya memang sudah biasa baginya menyusuri perkampungan-perkampungan yang abnormal demi mendapatkan rambut. samar-samar ia melihat sebuah gubuk bambu yang terletak beberapa meter dari jalan yg melakukan dilaluinya, pak maman segera bergegas mempercepat langkah menuju gubuk bambu tersebut.
tak tampak orang dari luar haya kelihatan cahaya lampu lilin di dalam, melalui celah dinding gubuk yang terbuat dari anyaman bambu, maklum listrik saat itu belum masuk desa.
“sampurasun, permisi” sapa pak maman sambil mengetuk pintu,
tidak kunjung ada bunyi di dalam,
“sampurasun, permisi , ada orang di dalam?”
ulang pak maman.
perlahan terdengar suara langkah disusul suara pintu terbuka, “rampes, siapa” seorang nenek nenek bau tanah keriput dengan rambut panjang membukakan pintu, pak maman agak terkaget melihatnya tetapi beliau berusaha menguasai diri “ma, maaf saya menggangu mau ikut berteduh dahulu disini saya kemalaman di jalan”
“ooh, silahkan mangga masuk kedalam” jawab wanita bau tanah itu sambil mempersilahkan masuk,
rupanya sang nenek tinggal bareng suaminya pasangan kakek dan nenek-nenek yg sesudah mengobrol bernama nenek dan kakek rumbai, “ai ujang dari mana, selalu mau kemana sampe bisa kemalaman” tanya sang nenek, kemudian pak maman menerangkan wacana peropesinya sebagai pencari rambut yg keluar masuk perkampungan sehingga dia sering-kadang kemalaman di jalan.
“aih tukang nyari rambut ujang te?
atu ari rambutmah disini banyak jang, tuh lihat deket pintu tengah” kata nenek itu sambil menunjuk ke arah ruang tengah
pak maman agak keheranan meski ia telah biasa ikut menginap di rumah-rumah warga namun dia merasa susana malam ini agak gila, dan mencekam selain sebab dipinggir gubuk itu ada sungai besar hujan yang rintik-rintik di luar membuat buluk kunduk berdiri ditambah banyak rambut panjang yang menumpuk mirip sengaja dikumpulkan.
“sok aja ambil semaunya jang, ga usah sungkan-sungkan da disni juga engga terpakai”
suara nenek itu menyadarkan rasa takutnya yg membuat pak maman heran merupakan kakek bau tanah suami nenek itu dari sejak dia tiba tak pernah bicara atau sekedar menyapanya, laki-laki renta itu cuma duduk sambil menundukan parasnya di depan lampu lilin sehingga pak maman tak begitu terperinci melihat wajahnya.
namun rasa takut pak maman sedikit terusir oleh rasa senang sebab mendapatkan rambut yg banyak sehingga karungnya terisi penuh,
“wah besok aku mampu eksklusif pulang nih” uajr pak maman dalam hati
“uajang niscaya laparnya”? kata nenek itu sambil menyajikan butiran butiran nangka yg besar-besar dikemas daun pisang.
“aduh terimakasih nek aku jadi ngerepotin”kata pak maman sambil secepatnya melahap nangka itu dengan rakusnya, maklum saja perutnya memang betul-betul lapar dari tadi siang belum terisi oleh apapun.
“enaknya jang nangkana?”tanya sang nenek sambil tersenyum
“iyah lezat pisan nek aduh terimaksih banyak” menjawabnya sambil melihat kearah senyum sang nenek yg baginya agak ajaib tetapi pak maman tak begitu memperdulikanya, dan selalu saja melahap nangka tersebut sampai habis.
“klw sukamah nenek kasih bekel buat nanti dijalan” tawar sang nenek dan pak maman hanya termanggut tanda setuju.
sesudah hujan reda waktu itu sekitar pukul 9 malam pak maman menetapkan untuk melanjutkan perjalananya alasannya adalah dia pikir toh karungnya telah terisi oleh rambut dan besok dapat langusng di jual kepengepul.
pak maman pamit dan nenek renta itu memberi bekal nangka yang dibungkus daun pisang, setelah mengucapkan terimakasih pak maman melanjutkan langkahnya,sekitar satu jam pak maman berlangsung untung saat itu sedang terperinci bulan beliau menemukan pemukiman warga dan berhenti di warung kopi.
sore mendung, hujan rintik rintik membasahi setiap pojok jalan sementara pria separuh baya tak surut tetap melangkah sambil menenteng karung lusuh kosong menyusuri jalan, dipinggiran terlihat pohon pohon rimbun mirip belum terjamah manusia, tidak terlihat orang yang melalui jalan itu mungkin alasannya sore telah menjelang malam.
entah telah seberapa jauh pria itu berlangsung dan telah berapa banyak perkampungan yang dilaluinya, memang susah mencari rambut sisa yang telah tak terpakai yang untuk sebagian orang sehabis rambutnya diiris mungkin dibuang tidak memiliki nilai, berlawanan untuk pak maman baginya rambut-rambut sisa itu bisa menjadi pundi-pundi rupiah sebagai mata pencahariaan bagi menghidupi anak istrinya di desa sebrang.
era itu sekitar tahun 1975 banyak orang yg berperopesi selaku pencari rambut , namun salon-salon tempat cukur jarang dapat dijumpai, hal itu alasannya adalah biasanya orang-orang yang hidup di desa mulai memangkas rambutnya bergiliran dengan sanak kerabat atau tetangga bahkan bisa mencukurnya sendiri, dulu para pencari rambut akan tiba membelinya, entah dibentuk untuk materi baku wig atau apa?.
sekian lama ia berjalan belum kunjung mendapat perkampungan, pak maman tidak akan pulang sebelum karungnya terisi sarat oleh rambut, hari semakin gelap “wah saya harus cepat-cepat menemukan tempat beristirahat jangan hingga kemalaman di jalan,” bisiknya dalam hati
saat itu ia tak tau berada di daerah mana alasannya memang sudah biasa baginya menyusuri perkampungan-perkampungan yang abnormal demi mendapatkan rambut. samar-samar ia melihat sebuah gubuk bambu yang terletak beberapa meter dari jalan yg melakukan dilaluinya, pak maman segera bergegas mempercepat langkah menuju gubuk bambu tersebut.
tak tampak orang dari luar haya kelihatan cahaya lampu lilin di dalam, melalui celah dinding gubuk yang terbuat dari anyaman bambu, maklum listrik saat itu belum masuk desa.
“sampurasun, permisi” sapa pak maman sambil mengetuk pintu,
tidak kunjung ada bunyi di dalam,
“sampurasun, permisi , ada orang di dalam?”
ulang pak maman.
perlahan terdengar suara langkah disusul suara pintu terbuka, “rampes, siapa” seorang nenek nenek bau tanah keriput dengan rambut panjang membukakan pintu, pak maman agak terkaget melihatnya tetapi beliau berusaha menguasai diri “ma, maaf saya menggangu mau ikut berteduh dahulu disini saya kemalaman di jalan”
“ooh, silahkan mangga masuk kedalam” jawab wanita bau tanah itu sambil mempersilahkan masuk,
rupanya sang nenek tinggal bareng suaminya pasangan kakek dan nenek-nenek yg sesudah mengobrol bernama nenek dan kakek rumbai, “ai ujang dari mana, selalu mau kemana sampe bisa kemalaman” tanya sang nenek, kemudian pak maman menerangkan wacana peropesinya sebagai pencari rambut yg keluar masuk perkampungan sehingga dia sering-kadang kemalaman di jalan.
“aih tukang nyari rambut ujang te?
atu ari rambutmah disini banyak jang, tuh lihat deket pintu tengah” kata nenek itu sambil menunjuk ke arah ruang tengah
pak maman agak keheranan meski ia telah biasa ikut menginap di rumah-rumah warga namun dia merasa susana malam ini agak gila, dan mencekam selain sebab dipinggir gubuk itu ada sungai besar hujan yang rintik-rintik di luar membuat buluk kunduk berdiri ditambah banyak rambut panjang yang menumpuk mirip sengaja dikumpulkan.
“sok aja ambil semaunya jang, ga usah sungkan-sungkan da disni juga engga terpakai”
suara nenek itu menyadarkan rasa takutnya yg membuat pak maman heran merupakan kakek bau tanah suami nenek itu dari sejak dia tiba tak pernah bicara atau sekedar menyapanya, laki-laki renta itu cuma duduk sambil menundukan parasnya di depan lampu lilin sehingga pak maman tak begitu terperinci melihat wajahnya.
namun rasa takut pak maman sedikit terusir oleh rasa senang sebab mendapatkan rambut yg banyak sehingga karungnya terisi penuh,
“wah besok aku mampu eksklusif pulang nih” uajr pak maman dalam hati
“uajang niscaya laparnya”? kata nenek itu sambil menyajikan butiran butiran nangka yg besar-besar dikemas daun pisang.
“aduh terimakasih nek aku jadi ngerepotin”kata pak maman sambil secepatnya melahap nangka itu dengan rakusnya, maklum saja perutnya memang betul-betul lapar dari tadi siang belum terisi oleh apapun.
“enaknya jang nangkana?”tanya sang nenek sambil tersenyum
“iyah lezat pisan nek aduh terimaksih banyak” menjawabnya sambil melihat kearah senyum sang nenek yg baginya agak ajaib tetapi pak maman tak begitu memperdulikanya, dan selalu saja melahap nangka tersebut sampai habis.
“klw sukamah nenek kasih bekel buat nanti dijalan” tawar sang nenek dan pak maman hanya termanggut tanda setuju.
sesudah hujan reda waktu itu sekitar pukul 9 malam pak maman menetapkan untuk melanjutkan perjalananya alasannya adalah dia pikir toh karungnya telah terisi oleh rambut dan besok dapat langusng di jual kepengepul.
pak maman pamit dan nenek renta itu memberi bekal nangka yang dibungkus daun pisang, setelah mengucapkan terimakasih pak maman melanjutkan langkahnya,sekitar satu jam pak maman berlangsung untung saat itu sedang terperinci bulan beliau menemukan pemukiman warga dan berhenti di warung kopi.
sehabis memesan kopi hangat pak maman inging mengkonsumsi buah nangka dukungan nenek tadi, perlahan dia buka daun itu sedikit terbuka namun bukan seperti buah nangka alangkah kaget pak maman setelah terbuka segala tenyata isinya, isinya mirip jari-jari jempol kaki kontan saja pak maman melemparnya jauh-jauh beliau kemudian muntah muntah.
membayangkan yg dimakanya ternyata bukan buah nangka tapi jempol kaki manusia, pemilik warung terkaget-kaget kemudian menanyakan apa yang terjadi, pendengar penuturan dongeng pak maman pemilik warung dahulu menerangkan memang ada suatu daerah di tonjong ciamis akrab sungai, tetapi disitu sama sekali tak ada gubuk bahkan rumah melainkan suatu goa di bersahabat sungai disana terkenal menyeramkan.
konon disana ada penghuni macan yang bila ada warga meninggal dunia dimalam jumat keliwon kuburanya akan digali oleh macan itu dan mayatnya dibawa menjadi santapan harimau jadi-jadian, kesannya pak maman tersadar mungkin rambut rambut yg menumpuk itu merupakan rambut jenazah, pak maman tak henti-hentinya muntah dia terkaget dan menetapkan bermalam diwarung sebab takut pulang.
the end
the end
Posting Komentar